Sabtu, 24 Oktober 2015

TERAPI SKAR AKNE DENGAN DERMA ROLLER

DERMAROLLER THERAPY

Skar merupakan jaringan fibrous yang menggantikan jaringan normal yang rusak akibat trauma atau penyakit. Kolagen dan kerusakan jaringan lainnya akibat inflamasi akne menimbulkan perubahan tekstur dan fibrous kulit permanen.

 Klasifikasi skar akne terdiri atas tiga tipe berdasarkan lebar dan kedalamannya yakni Icepick scars merupakan bentuk skar yang sempit (diameter <2 mm), berbentuk menyerupai huruf V (V-shaped), dengan tepi yang tajam dan mencekung secara vertikal pada dermis dan jaringan subkutan. Boxcar scars merupakan skar berbentuk cekungan bulat atau oval menyerupai huruf U (U-shaped) dengan permukaan yang lebih lebar dibandingkan icepick scars. Skar ini dangkal (0,1-0,5 mm) atau dalam ( ≥ 0,5 mm) dengan diameter bervariasi antara 1,5 hingga 4 mm, dan Rolling scars dengan ukuran diameter lebih dari 4 hingga mencapai 5 mm, sangat superfisial, bahkan terkadang sulit dilihat, dengan ekstensi vertikal yang terbatas pada kedalaman yang sesuai dengan ketebalan epidermis.

Klasifikasi yang lain oleh Goodman dkk berupa sistem grading kualitatif yang membagi dalam empat derajat berdasarkan beratnya gejala. Derajat I yakni tipe makular (skar eritematous, hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Derajat II, III, IV berupa mild (ringan), moderate (sedang), dan severe (berat) lesi atrofi dan hipertrofi. Lokasi skar dapat pada beberapa region anatomis (seperti pada pipi, leher dan dada, dimana ketiga lokasi ini disebut unit kosmetik), dimana skar dibagi berdasarkan keterlibatan lokasi anatomis yakni A (fokal, keterlibatan satu unit kosmetik) atau B (diskret, 2-3 unit kosmetik), lokalisata (lebih dari tiga area yang terlibat).

Dreno dkk mengajukan skala ECCA (Echelle d’evaluation Clinique des Cicatrices d’Acne). Pembagian berdasarkan sistem skoring ini yakni skar atrofi (V-shaped, U-shaped, dan M-shaped), elastolisis superfisial, skar inflamasi hipertrofi (onset kurang dari 2 tahun) dan skar hipertrofi-keloid (onset lebih dari 2 tahun). Tipe masing-masing skar dihubungkan dengan skor kuantitatif (0,1,2,3 tergantung pada jumlah lesi). Skoring global akhir berhubungan dengan beratnya gejala klinis dan range antara 0 hingga 540 tergantung pada tipe dan jumlah skar akne.

Tabel1. Klasifikasi skar akne menurut Goodman

DEFINISI

Skin needling ( Dermaroller ) disebut juga induksi kolagen perkutaneus, terapi induksi kolagen, dermal remodeling. Skin needling merupakan prosedur yang menggunakan roller steril yang terdiri dari serangkaian jarum halus atau jarum tajam yang menusuk kulit. Dengan mengaplikasikan anestesi lokal sebelumnya, alat tersebut dirolling sepanjang permukaan skar akne sehingga secara mikroskopis akan sampai pada lapisan dermis kulit. Prosedur ini akan menstimulasi pengeluaran kolagen baru dari dalam tubuh sendiri.

Teknik needling sendiri telah lama digunakan untuk terapi skar akne. Pada tahun 1995 Orentreich memperkenalkan teknik subsisi menggunakan jarum tribeveled hipodermik yang ditusukkan di bawah kulit untuk melepaskan jaringan fibrotik di bawah skar yang atrofi dan membuat trauma pada kulit sehingga menginduksi penyembuhan luka yang akan menghasilkan terbentuknya kolagen yang baru.

PRINSIP KERJA                                                                                                   

Induksi kolagen perkutaneus merupakan respon alami terhadap luka pada kulit. Pada saat jarum penetrasi ke dalam kulit, proses ini menyebabkan kerusakan lokal dan perdarahan yang disebabkan oleh ruptur pada pembuluh darah. Hal ini memicu terjadinya proses penyembuhan luka secara normal yang terjadi dalam tiga fase yakni proses inflamasi yang terjadi segera setelah luka dimana ditandai dengan pengeluaran platelet yang berperan dalam pembekuan darah dan faktor kemotaktik, invasi platelet lainnya, leukosit, dan fibroblast. Setelah platelet teraktivasi melalui paparan terhadap thrombin dan kolagen, akan dikeluarkan beberapa sitokin. Proses ini mecakup suatu rangkaian kompleks beberapa faktor yang penting dalam (1) mengontrol pembekuan seperti fibrinogen, fibronektin, trombospondin, dan tromboksan, (2) meningkatkan permeabilitas vaskular yang memungkinkan netrofil melewati dinding pembuluh darah dan memasuki area luka, (3) Menarik netrofil dan monosit, (4) merekrut fibroblast ke area luka.
Gambar 1. Proses Dermaroller- Induksi kolagen perkutaneus

Fase kedua atau fase proliferasi (tissue formation) yang terjadi sekitar 5 hari setelah skin needling, dimana pada fase ini monosit, keratinosit dan fibroblast tetap terus memberikan pengaruh melalui pengeluaran faktor-faktor pertumbuhan. Netrofil digantikan oleh monosit. Monosit berdiferensiasi menjadi fagosit dan makrofag yang penting untuk penyingkiran debris seluler dan pelepasan beberapa faktor pertumbuhan termasuk platelet-derived growth factor (PDGF), fibroblast growth factor, TGF-β, dan TGF-α yang akan menstimulasi migrasi dan proliferasi fibroblast serta produksi dan modulasi matriks ekstra selular. TGF merupakan agen kemotaktik yang kuat bagi fibroblast yang akan bermigrasi ke tempat luka dalam waktu 48 jam setelah luka untuk mulai menghasilkan kolagen I dan III, elastin, glikosaminoglikan, dan proteoglikan. Keratinosit merupakan sel utama pada proses ini yang akan menutupi defek pada membran basalis, bersama-sama dengan laminin dan kolagen tipe IV dan VII. Satu atau dua hari setelah induksi kolagen perkutaneus, keratinosit mengalami proliferasi dan berperan dalam penebalan epidermis. Keratinosit menstimulasi pertumbuhan epidermis dan pengeluaran faktor-faktor pertumbuhan untuk deposisi kolagen oleh fibroblast.

Gambar 2. Proses dermaroller- Fase proliferasi

Fase ketiga atau tissue remodeling yang berlangsung selama beberapa bulan setelah luka dan diperankan oleh fibroblast. Pada hari kelima setelah luka, matriks fibronektin yang terletak sepanjang aksis fibroblast akan terblok dan diperankan oleh kolagen. TGF-β dan faktor pertumbuhan lainnya memegang peranan penting dalam pembentukan matriks ini. Kolagen tipe III yang terletak di dermis atas di bawah stratum basalis epidermis akan digantikan oleh kolagen tipe I akan meningkatkan daya tarik.

Gambar 3. Proses dermaroller-Tissue remodelling

Kolagen tipe III merupakan kolagen yang dominan pada awal fase penyembuhan luka dan mencapai jumlah maksimal dalam 5 hingga 7 hari setelah luka. Pembentukan jaringan baru (penyembuhan luka: inflamasi, proliferasi, maturasi) merupakan interaksi dan reaksi kompleks sel-sel dan mediator, dimana proses ini berlangsung lebih singkat dengan menggunakan needle.
                         

Keuntungan teknik skin needlingSkin needling tidak menyebabkan kerusakan pada kulit, dimana secara histologis tidak dapat dibedakan dengan kulit normal. Kulit menjadi lebih tebal dengan peningkatan deposit kolagen dan lebih banyak elastin. Fase penyembuhan lebih singkat. Pengaplikasian agen anestesi topikal dapat digunakan untuk kenyamanan penderita. Skin needling aman digunakan untuk semua tipe dan warna kulit, serta tanpa resiko hiperpigmentasi paska inflamasi sehingga aman untuk pasien yang berkulit gelap sekalipun. Skin needling akan mencapai hasil yang lebih bagus jika dikombinasi dengan alpha hydroxyacid. Selain itu prosedur ini dapat meningkatkan penetrasi transdermal obat.

Kerugian teknik skin needling

            Teknik skin needling ini relatif menimbulkan perdarahan pada kulit. Teknik ini juga tidak dapat mencapai intensitas yang sama dalam hal deposisi kolagen tetapi terapi ini dapat diulang hingga mencapai hasil yang lebih bagus.

PROSEDUR TEKNIS

Persiapan pasien

Kulit secara rutin dipersiapkan dengan menggunakan vitamin A dan C topikal selama kurang lebih tiga minggu. Vitamin A dapat menstimulasi pertumbuhan sel, menyebabkan pengeluaran faktor-faktor pertumbuhan, merangsang angiogenesis dan produksi kolagen baru. Nutrisi kulit yang adekuat dengan menggunakan vitamin A dapat memaksimalkan proses metabolik yakni produksi kolagen serta mempercepat penyembuhan luka. Vitamin C sama pentingnya pada pembentukan kolagen, sehingga kedua vitamin tersebut dibutuhkan sebagai proteksi alami. Selain itu dapat juga digunakan produk topikal yang mengandung alfa hydroxyacid dan zinc. Peeling TCA (2,5%-5%) dapat dilakukan sebagai persiapan sebelum needling pada pasien dengan stratum korneum yang tebal dan kasar, sehingga hasil yang diperoleh lebih maksimal.

Pertama-tama kulit dibersihkan lalu dioleskan anestesi topikal selama 60 menit, kemudian dilakukan skin needling dengan cara menggulingkan/rolling alat needling pada area yang terkena skar akne. Ukuran needle yang digunakan sebagai roller merupakan hal yang penting oleh karena rolling berulang dapat menyebabkan perlukaan pada dermis tanpa menimbulkan pembentukan skar baru. Diameter needle 0,25 mm merupakan ukuran maksimal yang dapat digunakan tanpa resiko terbentuknya skar baru, tetapi ukuran yang lebih kecil pun tidak dapat memberikan hasil yang maksimal. Panjang needle juga perlu diperhatikan, dimana target skin needling pada dermis adalah lapisan atas dermis yakni intermediet retikular dermis yang mengandung stem cell paling tinggi sehingga memungkinkan produksi kolagen baru. Ketebalan epidermis pada wajah bervariasi antara 0,3 mm hingga 1 mm, sehingga untuk mencapai lapisan intermediet retikular dermis dibutuhkan needle dengan panjang 0,75 mm hingga 2 mm.
Gambar 4.Skematik penetrasi skin needling


Gambar 5. Jarum yang digunakan dengan panjang 1,5 mm dan diameter 0,25 mm

Rolling terdiri atas beberapa pergerakan dengan tekanan yakni 4 kali dalam 4 arah (horizontal, vertikal, diagonal kanan dan kiri), dimana hal ini menghasilkan 250 hingga 300 tusukan per senti meter persegi.

Gambar 6. Arah rolling skin needling

Sesaat setelah tindakan, kulit akan berdarah dalam waktu yang singkat, tetapi perdarahan akan segera terhenti. Pada saat ini dapat diaplikasikan kompres dingin dan masker vitamin C. Pada hari pertama dan kedua setelah tindakan, lesi akan terlihat membengkak, kemerahan, dan memar. Gatal minimal dapat timbul dan lesi kulit dapat memperlihatkan gambaran “cakar kucing”. Proses penyembuhan akan terjadi dalam 4 hingga 7 hari.

INDIKASI

Tindakan CIT (Collagen Inductive Therapy) dapat dikerjakan untuk memperbaiki kondisi:
         Acne scar (lubang-lubang bekas jerawat)
         Peremajaan kulit (memperbaiki tekstur kulit, mengurangi wrinkle/kerutan halus, dan mengecilkan pori)
Beberapa laporan terbaru melakukan CIT pada stretch mark, suatu kondisi yang sangat sulit diatasi. Ada perbaikan, walau tidak seperti yang diharapkan.

KONTRAINDIKASI

Tidak banyak kontraindikasi pada tindakan microneedle therapy ( dermaroller ) ada beberapa yang harus di perhatikan antara lain:
         Pada orang yang mempunyai bakat keloid salah satu kontaindikasi karena dermaroller melukai jaringan kulit sehingga jika di lakukan dapat menimbulkan keloid.
         Orang yang mempunyai kelainan faktor pembekuan darah.

EFEK SAMPING

Efek samping yang mungkin terjadi pada skin needling ( Dermaroller ) adalah:
  • Rasa nyeri
  • Perdarahan
  • Infeksi
  • Milia (bintik-bintik putih), dan warna/bercak kehitaman (hiperpigmentasi).

KESIMPULAN

Skar akne yang timbul setelah akne dapat menyebabkan dampak secara kosmetik maupun psikologik, sehingga saat ini terdapat beberapa modalitas terapi diantaranya needling yakni penanganan skar akne dengan intervensi jarum. Pada tulisan ini dibahas modalitas terapi dengan menggunakan jarum yakni metode skin needling atau induksi kolagen perkutaneus itu sendiri. skin needling merangsang pembentukan faktor pertumbuhan dan kolagen baru. Adapun indikasi dari skin needling adalah bekas jerawat ( scar acne ), untuk memeperbaiki tekstur kulit ( peremajaan kulit ). Kontraindikasi indikasi yang harus di perhatikan adalah adanya bakat keloid pada orang tertentu, kelainan darah. Sedangkan efek samping yang mungkin timbul dari tindakan ini antara lain rasa nyeri setelah tindakan, perdarahan, infeksi, bercak-bercak kemerahan dan bercak-bercak kehitaman.

Jumat, 23 Oktober 2015

HUBUNGAN IKTERUS DAN ASI

HUBUNGAN IKTERUS DENGAN ASI

gambar 1. newborn jaundice

Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Penyebab ikterus dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor fase prehepatik (produksi yang berlebihan dan gangguan transportasi), fase intrahepatik (gangguan proses “uptake” dan konjugasi hepar), dan fase pascahepatik (gangguan dalam ekskresi).

Sekitar 1 dari 200 bayi cukup bulan yang menyusu ASI terdapat kenaikan bermakna dari bilirubin tak terkonjungasi antara umur 4 dan 7 hari, mencapai kadar maksimal setinggi 10-30 mg/dL, selama minggu ke-2 sampai minggu ke-3. Jika pemberian ASI dilanjutkan, hiperbilirubinemia secara bertahap menurun dan kemudian dapat menetap selama 3-10 minggu pada kadar yang lebih rendah. Jika pemberian ASI dihentikan, kadar bilirubin serum turun dengan cepat, biasanya mencapai normal dalam beberapa hari. Penghentian ASI selama 1-2 hari dan penggantian ASI dengan susu formula mengakibatkan penurunan bilirubin serum yang cepat, sesudahnya pemberian ASI dapat dimulai lagi dan hiperbilirubinemia tidak kembali ke kadar yang tinggi seperti sebelumnya. Jika ada indikasi, fototerapi mungkin bermanfaat. Bayi ini tidak mempunyai tanda-tanda penyakit lain, dan kernikterus belum pernah dilaporkan. ASI dari beberapa ibu ini mengandung 5-ß-pregnane-3alfa, 20-ß-diol atau asam lemak rantai panjang nonsterifikasi, yang secara kompetitif menghambat aktifitas konjugasi glukoronil transferase. Pada ibu lain ASInya mengandung glukoronidase yang dapat menyebabkan ikterus.

Sindrom ini harus dibedakan dari hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang menonjol dan mulainya dini pada umur satu minggu, bila bayi yang minum ASI mempunyai kadar bilirubin yang lebih tinggi daripada bayi yang minum susu formula. Pengamatan ini mungkin disebabkan  kurangnya pemasukan susu disertai dehidrasi atau kurang pemasukan kalori. Memberi tambahan air gula pada bayi yang minum ASI dihubungkan dengan kadar bilirubin yang lebih tinggi, sebagian disebabkan oleh menurunnya masukan densitas ASI yang tinggi kalori. Frekuensi menyusu yang sering (>10/24 jam), rooming in menyusu pada malam hari, dan menghindari penambahan dekstrose 5% atau air dapat mengurangi insidens ikterus awal karena ASI.

Ikterus lebih sering terjadi pada bayi yang memperoleh ASI dibanding bayi yang memperoleh susu formula. Ada dua macam ikterus yang dapat terjadi sehubungan dengan ASI:
* Breastmilk jaundice (1% bayi baru lahir): Ikterus karena ASI pertama kali didiskripsikan pada tahun 1963. Karakteristik ikterus karena ASI adalah kadar bilirubin indirek yang masih meningkat setelah 4-7 hari pertama, berlangsung lebih lama dari ikerus fisiologis yaitu sampai 3-12 minggu dan tidak ada penyebab lainnya yang dapat menyebabkan ikterus. Ikterus karena ASI berhubungan dengan pemberian ASI dari seorang ibu tertentu dan biasanya akan timbul ikterus pada setiap bayi yang disusukannya. Selain itu, ikterus karena ASI juga bergantung kepada kemampuan bayi mengkonjugasi bilirubin indirek (misalnya bayi prematur akan lebih besar kemungkinan terjadi ikterus). Penyebab ikterus karena ASI belum jelas tetapi ada beberapa faktor yang diperkirakan memegang peran, yaitu :
·      terdapat hasil metabolisme hormon progesteron yaitu pregnane3-α 20 betadiol di dalam ASI yang menghambat uridine diphosphoglucoronic acid (UDPGA)
·      peningkatan konsentrasi asam lemak bebas yang nonesterified yang menghambat fungsi glukoronid transferase di hati
·      peningkatan sirkulasi enterohepatik karena adanya peningkatan aktivitas ß glukoronidase di dalam ASI saat berada dalam usus bayi.
·      defek pada aktivitas uridine diphosphate-glucoronyl transferase (UGT1A1) pada bayi homozigot atau heterozigot untuk varian sindrom Gilbert.
            Keadaan ini tidak memerlukan penghentian pemberian ASI karena tipe jaundice ini ringan dan sama sekali tidak pernah menimbulkan kernicterus atau bahaya lainnya. Tipe jaundice ini hanya memiliki sedikit sekali kenaikan bilirubin dan akan menghilang seiring dengan makin matangnya fungsi hati bayi pada usia 3-10 minggu. Secara umum, jaundice karena sebab apapun tidak pernah merupakan alasan untuk menghentikan pemberian ASI.

* Breastfeeding jaundice (5-10% bayi baru lahir): Hal ini terjadi pada minggu pertama setelah lahir pada bayi yang tidak memperoleh cukup ASI. Bilirubin akan dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk empedu yang dialirkan ke usus. Selain itu, empedu dapat terurai menjadi bilirubin di usus besar untuk kemudian diserap kembali oleh tubuh. Jika bayi tidak memperoleh cukup ASI, gerakan usus tidak banyak terpacu sehingga tidak banyak bilirubin yang dapat dikeluarkan sebagai empedu. Dan bayi yang tidak memperoleh cukup ASI tidak mengalami buang air besar yang cukup sering sehingga bilirubin hasil penguraian empedu akan tertahan di usus besar dan diserap kembali oleh tubuh. Selain itu kolostrum yang banyak terkandung pada ASI di hari-hari awal setelah persalinan memicu gerakan usus dan BAB. Karena itu, menyusui harus dilakukan minimal 8-12 kali per hari dalam beberapa hari pertama. Untuk mengurangi terjadinya ikterus dini perlu tindakan sebagai berikut :
·      bayi dalam waktu 30 menit diletakkan ke dada ibunya selama 30-60 menit
·      posisi dan perlekatan bayi pada payudara harus benar
·      berikan kolostrum karena dapat membantu untuk membersihkan mekonium dengan segera. Mekonium yang mengandung bilirubin tinggi bila tidak segera dikeluarkan, bilirubinnya dapat diabsorbsi kembali sehingga meningkatkan kadar bilirubin dalam darah.
·      bayi disusukan sesuai kemauannya tetapi paling kurang 8 kali sehari.
·      jangan diberikan air putih, air gula atau apapun lainnya sebelum ASI keluar karena akan mengurangi asupan susu.
·      menilai apakah bayi telah memperoleh asupan ASI yang cukup, ada beberapa hal yang dapat diperhatikan:
·      Bayi yang memperoleh ASI tanpa suplemen apapun akan mengalami berkurangnya berat badan maksimal (< 10% berat lahir) pada usia 3 hari. Jika berat badan bayi berkurang ≥ 10% berat lahir pada hari ketiga, kecukupan ASI harus dievaluasi.
·      Bayi yang memperoleh cukup ASI akan BAK dengan membasahi seluruh popoknya 4-6 kali per hari dan BAB 3-4 kali pada usia 4 hari. Pada usia 3-4 hari, feses bayi harus telah berubah dari mekonium (warna gelap) menjadi kekuningan dengan tekstur lunak.

            Diagnosis ikterus karena ASI, semua penyebab ikterus harus disingkirkan. Orangtua dapat ditanyakan apakah anak sebelumnya juga mengalami ikterus. Sekitar 70% bayi baru lahir yang saudara sebelumnya mengalami ikterus karena ASI akan mengalami ikterus pula. Beratnya ikterus bergantung pada kematangan hati untuk mengkonyugasi kelebihan bilirubin indirek ini. Untuk kepastian diagnosis apalagi bila kadar bilirubin telah mencapai di atas 16 mg/dl selama lebih dari 24 jam adalah dengan memeriksa kadar bilirubin 2 jam setelah menyusu dan kemudian menghentikan pemberian ASI selama 12 jam (tentu bayi mendapat cairan dan kalori dari makanan lain berupa ASI dari donor atau  pengganti ASI dan ibu tetap diperah agar produksi ASI tidak berkurang). Setelah 12 jam kadar bilirubin diperiksa ulang, bila penurunannya lebih dari 2 mg/dl maka diagnosis dapat dipastikan. Bila kadar bilirubin telah mencapai < 15 mg/dl, maka ASI dapat diberikan kembali. Kadar bilirubin diperiksa ulang untuk melihat apakah ada peningkatan kembali.
            Pada sebagian besar kasus penghentian ASI untuk beberapa lama akan memberi kesempatan hati mengkonyugasi bilirubin indirek yang berlebihan tersebut, sehingga apabila ASI diberikan kembali kenaikannya tidak akan banyak dan kemudian berangsur menurun.
            Apabila kadar bilirubin tidak turun maka penghentian pemberian ASI dilanjutkan sampai 18-24 jam dengan mengukur kadar bilirubin setiap 6 jam. Apabila kadar bilirubin tetap meningkat setelah penghentian pemberian ASI selama 24 jam maka jelas penyebabnya bukan karena ASI. ASI boleh diberikan kembali sambil mencari penyebab ikterus lainnya. Masih terdapat kontroversi untuk tetap melanjutkan pemberian ASI atau dihentikan sementara pada keadaan ikterus karena ASI. Biasanya kadar bilirubin akan menurun drastis bila ASI dihentikan sementara.
            Tata laksana pada hiperbilirubinemia, bayi harus tetap diberikan ASI dan jangan diganti dengan air putih atau air gula karena protein susu akan melapisi mukosa usus dan menurunkan penyerapan kembali bilirubin yang tidak terkonyugasi. Pada keadaan tertentu bayi perlu diberikan terapi sinar. Transfusi tukar jarang dilakukan pada ikterus dini atau ikterus karena ASI. Indikasi terapi sinar dan transfusi tukar sesuai dengan tata laksana hiperbilirubinemia.Yang perlu diperhatikan pada bayi yang mendapat terapi sinar adalah sedapat mungkin ibu tetap menyusui  atau memberikan ASI yang diperah dengan menggunakan cangkir supaya bayi tetap terbangun dan tidak tidur terus. Bila gagal menggunakan cangkir, maka dapat diberikan dengan pipa orogastrik atau nasogastrik, tetapi harus segera dicabut sehingga tidak mengganggu refleks isapnya. Kegiatan menyusui harus sering (1-2 jam sekali) untuk mencegah dehidrasi, kecuali pada bayi kuning yang tidur terus, dapat diberikan ASI tiap 3 jam sekali. Jika ASI tidak cukup maka lebih baik diberikan ASI dan PASI bersama daripada hanya PASI saja.

gambar 2. tatalaksana ASI pada newborn jaundice

            Breastfeeding jaundice yang menetap lebih dari 2 minggu ditemukan pada lebih dari 30% bayi, sehingga memerlukan tata laksana sebagai berikut :
1. Jika pemeriksaan fisik, urin dan feses normal hanya diperlukan observasi saja.
2. Dilakukan skrining hipotiroid
3. Jika menetap sampai 3 minggu, periksa kadar bilirubin urin, bilirubin direk dan total.
            Manajemen dan penyimpanan ASI, pada breastfeeding jaundice dan breastmilk jaundice diperlukan manajemen ASI yang benar. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan tanpa diberikan apa-apa selain ASI. Pemberian ASI eksklusif akan berhasil bila terdapat perlekatan yang erat. Bayi disusui segera setelah lahir, sering menyusui dan memerah ASI. Perlekatan yang baik bila sebagian besar areola masuk ke mulut bayi, mulut bayi terbuka lebar, dan bibir bawah terputar ke bawah. Pada ikterus karena ASI yang ‘terpaksa’ harus menghentikan ASI untuk sementara, sebaiknya diberikan pengganti ASI dengan tidak menggunakan dot, tapi menggunakan sendok kecil atau cangkir. ASI harus sering diperah dan disimpan dengan tepat terutama pada ibu yang bekerja. Berikut adalah cara menyimpan ASI yang diperah:
1.      ASI yang telah diperah dan belum diberikan dalam waktu 30 menit, sebaiknya disimpan dalam lemari es.
2.      ASI dapat disimpan selama 2 jam dalam lemari es dengan menggunakan kontainer yang bersih, misalnya plastic
3.      ASI yang diperah harus tetap dingin terutama selama dibawa transportasi.
4.      ASI yang tidak digunakan selama 48 jam, sebaiknya didinginkan di freezer dan dapat disimpan selama 3 bulan.
5.      Sebaiknya diberi label tanggal pada ASI yang diperah, sehingga bila akan digunakan, ASI yang awal disimpan yang digunakan.
6.      Jangan  memanaskan ASI dengan direbus, cukup direndam dalam air hangat. Juga jangan mencairkan ASI beku langsung dengan pemanasan, pindahkan dahulu ke lemari es pendingin agar mencair baru dihangatkan

Tabel 1. Manajemen Penyimpanan ASIP (ASI Perah)


Dengan manajemen ASI yang benar diharapkan bayi dapat diberikan ASI secara eksklusif sekalipun mengalami ikterus. Sebelum dinyatakan tidak ikterus, risiko bayi mengalami hiperbilirubinemia harus dinilai. Penilaian ini oleh American Academy of Pediatrics disarankan dengan melakukan pengukuran kadar bilirubin (TSB atau TcB), penilaian faktor risiko, atau keduanya. Yang merupakan faktor risiko adalah:

Faktor risiko mayor:
* TSB atau TcB di high-risk zone
* Jaundice dalam 24 jam pertama
* Ketidakcocokan golongan darah atau rhesus
* Penyakit hemolisis (penghancuran sel darah merah), misal: defisiensi G6PD yang dibutuhkan
   sel darah merah untuk dapat berfungsi normal
* Usia gestasi 35-36 minggu
* Riwayat terapi cahaya pada saudara kandung
* Memar yang cukup berat berhubungan dengan proses kelahiran, misal: pada kelahiran yang
   dibantu vakum
* Pemberian ASI eksklusif yang tidak efektif sehingga tidak mencukupi kebutuhan bayi, ditandai
   dengan penurunan berat badan yang berlebihan
* Ras Asia Timur, misal: Jepang, Korea, Cina

Faktor risiko minor:
* TSB atau TcB di high intermediate-risk zone
* Usia gestasi 37-38 minggu
* Jaundice tampak sebelum meninggalkan RS/RB
* Riwayat jaundice pada saudara sekandung
* Bayi besar dari ibu yang diabetic
* Usia ibu ≥ 25 tahun
* Bayi laki-laki


Jika tidak ditemukan satu pun faktor risiko, risiko jaundice pada bayi sangat rendah.
Pemeriksaan bayi pertama kali setelah meninggalkan RS adalah pada usia 3-5 hari karena pada usia inilah umumnya bayi memiliki kadar bilirubin tertinggi. Secara detail, jadwal pemeriksaan bayi setelah meninggalkan RS/RB adalah sebagai berikut:
* Jika bayi meninggalkan RS < usia 24 jam dilakukan pemeriksaan pada usia 72 jam (3 hari)
* Jika bayi meninggalkan RS pada usia antara 24 – 47,9 jam dilakukan pemeriksaan pada usia 96 jam (4 hari)
* Jika bayi meninggalkan RS pada usia antara 48 – 72 jam dilakukan pemeriksaan pada usia 120 jam (5 hari)

Pemeriksaan yang dilakukan harus meliputi:
* Berat badan bayi dan perubahan dari berat lahir
* Kecukupan asupan ASI/susu formula
* Pola BAK dan BAB
* Ada tidaknya jaundice

Jika ada keraguan mengenai penilaian derajat jaundice, pemeriksaan kadar bilirubin harus dilakukan. Jika ada satu atau lebih faktor risiko, pemeriksaan setelah meninggalkan RS/RB dapat dilakukan lebih awal. Selain pemeriksaan kadar bilirubin, penyebab jaundice juga harus dicari. Misalnya dengan memeriksa kadar bilirubin terkonjugasi dan tidak terkonjugasi, melakukan urinalisis dan kultur urin jika yang meningkat terutama adalah kadar bilirubin terkonjugasi, melakukan pengukuran kadar enzim tertentu jika ada riwayat serupa dalam keluarga atau bayi menunjukkan tanda-tanda spesifik.

Penatalaksanaan pada ikterus yang berhubungan dengan ASI, sebagian besar jaundice adalah keadaan fisiologis yang tidak membutuhkan penanganan khusus selain dilanjutkannya pemberian ASI yang cukup. Namun pada keadaan tertentu, jaundice memerlukan terapi khusus yaitu terapi cahaya atau exchange transfusion.

Terapi cahaya, perlu tidaknya terapi cahaya ditentukan dari kadar bilirubin, usia gestasi (kehamilan) saat bayi lahir, usia bayi saat jaundice dinilai, dan faktor risiko lain yang dimiliki bayi. 
gambar 3. terapi cahaya pada newborn jaundice

Beberapa faktor risiko yang penting yaitu:
* Penyakit hemolisis autoimun (penghancuran sel darah merah oleh sistem kekebalan tubuh sendiri)
* Kekurangan enzim G6PD yang dibutuhkan sel darah merah untuk berfungsi normal
* Kekurangan oksigen
* Kondisi lemah/tidak responsive
* Tidak stabilnya suhu tubuh
* Sepsis (keadaan infeksi berat di mana bakteri telah menyebar ke seluruh tubuh)
* Gangguan keasaman darah
* Kadar albumin (salah satu protein tubuh) < 3.0 g/dL
            Pada bayi yang menerima ASI yang harus menjalani terapi cahaya, pemberian ASI dianjurkan untuk tetap dilakukan. Namun ASI juga dapat dihentikan sementara untuk menurunkan kadar bilirubin dan meningkatkan efek terapi cahaya. Selama terapi cahaya, beberapa hal ini perlu diperhatikan:
* Pemberian ASI atau susu formula setiap 2-3 jam
* Jika TSB ≥25 mg/dL, ulangi pengukuran dalam 2-3 jam
* Jika TSB 20–25 mg/dL, ulangi pengukuran dalam 3-4 jam
* Jika TSB <20 mg/dL, ulangi pengukuran dalam 4-6 jam
* Jika TSB terus menurun, ulangi pengukuran dalam 8-12 jam
* Jika TSB tidak menurun atau meningkat menuju batas perlunya exchange transfusion, pertimbangkan exchange transfusion.

Pada penyakit hemolisis autoimun, pemberian globulin (gamma globulin) direkomendasikan jika TSB tetap meningkat dengan terapi cahaya atau TSB berada 2-3 mg/dL dari batas perlunya exchange transfusion. Pemberian ini dapat diulangi dalam 12 jam. Pemberian globulin dapat menghindari perlunya exchange transfusion pada bayi dengan ketidakcocokan rhesus atau golongan darah.

Penghentian terapi cahaya ditentukan oleh usia bayi saat dimulainya terapi tersebut, kadar bilirubin, dan penyebab jaundice. Pada bayi yang diterapi cahaya setelah sempat dipulangkan dari RS/RB pasca kelahiran, terapi cahaya umumnya dihentikan jika kadar bilirubin sudah di bawah 13-14 mg/dl. Pengukuran ulang bilirubin setelah 24 jam penghentian terapi direkomendasikan terutama pada bayi dengan penyakit hemolisis atau bayi yang menyelesaikan terapi cahaya sebelum usia 3-4 hari.

Exchange transfusion. Penanganan khusus lainnya yang mungkin diperlukan pada bayi dengan jaundice adalah exchange transfusion. Exchange transfusion adalah tindakan di mana darah pasien diambil sedikit demi sedikit dengan meningkatkan volume pengambilan pada setiap siklusnya, untuk kemudian digantikan dengan darah transfusi dengan jumlah yang sama.
gambar 4. terapi exchange transfusion pada newborn jaundice


Exchange transfusion dilakukan dengan segera pada bayi dengan gejala ’acute bilirubin encephalopathy’ seperti meningkatnya ketegangan otot, meregangnya bayi dengan posisi seperti busur, demam, tangisan dengan nada tinggi, atau jika TSB ≥ 5 mg/dl di atas kurva yang sesuai.
Jika kadar TSB berada pada level di mana exchange transfusion dibutuhkan atau ≥ 25 mg/dl, hal ini adalah keadaan gawat darurat dan harus segera ditangani.

KESIMPULAN 

Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Penyebab ikterus dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor fase prehepatik (produksi yang berlebihan dan gangguan transportasi), fase intrahepatik (gangguan proses “uptake” dan konjugasi hepar), dan fase pascahepatik (gangguan dalam ekskresi).

Sekitar 1 dari 200 bayi cukup bulan yang menyusu ASI terdapat kenaikan bermakna dari bilirubin, hal ini disebabkan karena ASI dari beberapa ibu ini mengandung 5-ß-pregnane-3alfa, 20-ß-diol atau asam lemak rantai panjang nonsterifikasi, yang secara kompetitif menghambat aktifitas konjugasi glukoronil transferase. Pada ibu lain ASInya mengandung glukoronidase yang dapat menyebabkan ikterus.

Ikterus ini dapat terjadi antara umur 4 dan 7 hari, mencapai kadar maksimal setinggi 10-30 mg/dL, selama minggu ke-2 sampai minggu ke-3. Jika pemberian ASI dilanjutkan, hiperbilirubinemia secara bertahap menurun dan kemudian dapat menetap selama 3-10 minggu pada kadar yang lebih rendah. Jika ada indikasi, fototerapi mungkin bermanfaat. Bayi ini tidak mempunyai tanda-tanda penyakit lain, dan kernikterus belum pernah dilaporkan.